Jumat, 09 Maret 2012

Love Is Not A Game -part 4-

Love Is Not A Game!!


-Part 4-


            "Halo?"


            "Nggg, Ryan?"

            "Yes?" jawaban itu terdengar sangat datar dan jutek. Meitha sampe menelan ludah karena gugup setengah mati. Meitha menarik nafas pelan. Satu kali.. dua kali.. tiga kali... Huft! Meitha mencoba menyemangati dirinya sendiri. Gue pasti bisa!


            "Ini gue... Meitha" Meitha berkata lirih sambil menutup matanya. Hatinya udah ketar - ketir duluan dan pikirannya udah melayang kemana - mana. Membayangkan apa yang terjadi selanjutnya jelas bukan ide yang baik. Karena hanya akan membuat beban pikiran aja!

            Terdengar suara "gedebuk" keras dari seberang telepon. Meitha mengerjapkan matanya kaget. Sepertinya Ryan jatuh? Entahlah. Heboh sekali sepertinya! Samar - samar Meitha bisa mendengar sederetan makian dari mulut cowok itu.

            "Hei, ada apa?" Meitha bertanya cemas. Bukannya apa, habis hebohnya itu loh.. kayak jatuh dari atap aja. Atau jangan - jangan emang iya? Waduh, mulai ngaco nih pikiran Meitha!

            "Ehh, nggak apa kok! Gue.. gue cuma.." terdengar suara "gedebruk" sekali lagi dan Ryan mengaduh cukup keras. "Aduh! Shit! Kaki gue.. Sialan!"


            Mau nggak mau Meitha nyengir mendengar seruan cowok itu. Ternyata cowok sangar itu kalo mengaduh lucu juga. Padahal kesannya cool banget gitu waktu ngejawab telepon dari Meitha. Eh, begitu tau yang telepon Meitha, reaksinya kayak abis kesetrum aja!

            "Ada apa sih?" tanya Meitha yang lama - lama jadi penasaran juga.

            "Ohh, nggak papa. Ini kamar gue berantakan banget soalnya.." Ryan menjawab dengan nada sedikit salah tingkah. Meitha terkekeh mendengarnya. Dasar cowok! Ada - ada aja alasannya!

            "Ada perlu apa telpon gue?" tanya Ryan buru - buru. Senyum Meitha makin lebar walau cowok itu jelas nggak akan bisa melihatnya. Ihhh, sumpah, Ryan lucu banget! Bikin Meitha gemes deh!

            "Nggak papa kok. Cuma mau ngecek aja ini nomor lo ato bukan" jawab Meitha enteng. Padahaaaaaaaaaaal, aslinya Meitha aja nggak kepikiran buat ngasih alasan macam begitu. Untung saja dewi ide sedang menghampiri otaknya. Kalo nggak kan repot urusannya! Bisa - bisa dia malah mempermalukan dirinya sendiri.

            "Ohh," Waduh! Kok reaksinya gitu doang sih? Meitha menggigit bibir panik. Otaknya berputar mencari ide sebagai bahan bicara. Tapi nihil! Otaknya bener - bener macet! Nggak ada ide!

            "Ohya, met. Lo kelas berapa sih?" Thanks God!! Akhirnya keheningan selama beberapa detik yang terasa seperti satu abad itu dipecahkan juga oleh Ryan. Meitha menghembuskan nafas lega dengan pelaaaaaaaan sekali. Takut tuh cowok nyadar kalo Meitha sedari tadi lagi mati kutu!

            "Gue kelas X-E. Lo sendiri?"

            "Kelas XI IPA 1"

            "Hah?? Serius lo?" Meitha membelalakan matanya kaget. Widih, nggak nyangka Ryan anak IPA! Kelas IPA 1 lagi. Kelas IPA 1, baik anak kelas XI maupun anak kelas XII, itu adalah kelas unggulan tau! Isinya anak cerdas, pinter, rajin dan biasanya kuper semua! Gila, nggak mungkin! Ryan nggak mungkin anak kelas XI IPA 1. Nggak cocok buat penampilan dan pribadinya yang berantakan abis gitu.

            "Gue serius kali. Gini - gini gue pernah ikut olimpiade Fisika lho" Meitha mangap mendengarnya. Nggak mungkin! "Yahh, tapi gue nggak menang sih.. yang penting gue ikutan!"GUBRAAKK!!

            "Huh, kirain!" Meitha mencibir dengan kesal. Emang dari awal Meitha udah nggak percaya waktu tuh cowok nyebut - nyebut olimpiade segala! Nggak mungkin banget! Guru pembimbingnya pasti udah dicuci otak sampe - sampe milih Ryan jadi peserta olimpiade! Kenyataan yang kejam!

            "Yaaaa... Siapa suruh mereka nunjuk gue jadi peserta olimpiade. Kayak nggak tau aja hobi gue yang sering tidur dikelas"


            Meitha hanya bisa geleng - geleng kepala mendengar penuturan cowok itu. Nggak merasa bersalah sama sekali!

            "Parah lo" cetus Meitha tanpa sadar. Ehh, Meitha buru - buru menutup mulutnya. Aduh, kemana sih sopan santunnya dia? Sama senior malah ngatain kayak begitu. Ck! Tak disangka, Ryan malah tertawa menanggapinya.

            "Lo lucu!"


            "Hah?" Meitha langsung bengong mendengarnya.

            "Apa?" tanya Ryan balik.

            "Nggak...."

            Tak terasa, kebekuan dan kecanggungan mereka sedikit demi sedikit mulai berkurang. Bahan obrolan mereka pun sampai kemana - mana tanpa arah dan tujuan yang jelas. Udah kayak sahabat lama aja! Sayang, hal itu tak berlangsung lama. Seandainya Ryan nggak mengubah topik ke arah yang kurang menyenangkan bagi Meitha...

            "Ohya, lo adik kelasnya Dani sewaktu SMP ya?"


            Meitha terdiam beberapa saat. Sepertinya mereka mulai memasuki topik yang cukup sensitif buat Meitha. Meitha menjawab dengan hati - hati "Iya, kenapa?"

            "Akrab?"


            "Aaaa.. Mungkin?"

            Ryan tidak menjawab selama beberapa saat. Meitha sampai mengecek layar hapenya, apa mungkin sambungan telepon mereka terputus. Kening Meitha berkerut. Hmm, enggak tuh. Tuh anak kok diem aja sih?

            "Ryan? Lo masih disana?"

            "Hmmm.. Eh, udah ya. Gue ada urusan. Bye," dan sambungan pun terputus. Loh? Loh? Loh? Kenapa tuh cowok? Nggak jelas banget! Meitha membanting hapenya dengan kesal. Meitha kan belum dapat informasi yang cukup banyak! Tuh cowok malah udah matiin telepon! Haaaaaahh! Nyebelin banget sih!?

            Meitha melirik jam di dindingnya yang sudah menunjukan pukul sepuluh malam. Wahh, nggak kerasa udah jam segini!

            "Ahh, ya udah lah!" Meitha berseru kesal kemudian membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Meitha memeluk gulingnya dengan wajah cemberut. Masih kesal dengan sikap cowok itu yang seenaknya sendiri.

            "Gue mau tidur!! Pergi dari pikiran gue, jelek!!" teriakan Meitha sekali lagi menggema ke seluruh penjuru rumahnya. Mama dan Papa Meitha yang hendak terlelap jadi terbangun. Mereka saling bertatapan kemudian hanya bisa menggeleng - geleng mendengar teriakan putri mereka yang seperti orang gila itu.

***

            Hari ini, Meitha sengaja datang lebih awal. Banyak alasan yang menuntut Meitha untuk bangun pagi. Pertama, dia ingin mempersiapkan hatinya untuk berhadapan dengan sahabatnya, Renita, yang sepertinya sangat optimis bahwa dia akan menang. Dua, karena pusing mikirin soal taruhan-pembawa-bencana itu Meitha nggak sempat mengerjakan PRnya. Alhasil, mau tak mau Meitha harus datang pagi.

            Meitha berdiri didepan pintu kelasnya dengan jantung berdegup kencang. Dia menutup matanya sejenak dan berdoa semoga sahabatnya itu belum datang. Amin! Meitha membuka pintu dan langsung menghembuskan nafas lega. Tidak ada satupun orang di dalam kelas itu. Mungkin keberuntungan yang sudah lama absen dari kehidupannya itu akhirnya kembali juga!

            Meitha memasuki kelasnya dengan perasaan lebih tenang. Ia baru saja akan menaruh tas birunya di atas meja ketika Meitha merasakan ada seseorang yang menepuk bahunya. Meitha kontan saja menjerit dan karena refleks yang berlebihan, ia mengayunkan tasnya ke arah wajah orang yang mengagetkannya itu.

            "Aww.." rintih Renita sambil memegangi hidungnya yang merah akibat "serangan" Meitha. Meitha terbelalak kaget menatap sahabatnya itu yang sedang berdiri tepat di depannya. Keberuntungannya sudah habis rupanya.

            "Lo nggak papa?" tanya Meitha pelan dan mengusap hidung sahabatnya dengan tawa tertahan.

            "Menurut lo?" Renita menatap Meitha galak. Tawa Meitha meledak. Dia menarik hidung Renita dengan keras sampai cewek itu berteriak kesakitan.

            "Eh, sialan lo! Gue hajar baru tau rasa lo," ancaman Renita malah membuat tawa Meitha makin keras. Renita berkacak pinggang melihatnya. Dengan cepat, Renita balas menarik hidung Meitha tanpa ampun. Hidung Meitha sampe merah noh!

            "Arghhhhhhhhhh!! Renita!!" Meitha berseru kesal dan hendak membalas perbuatan Renita.

            "Eh, stop! Stop!" Renita mengacungkan tangan kanannya di depan Meitha dengan wajah serius. Meitha menghentikan aksinya dan menunggu Renita melanjutkan ucapannya, "Udah ahh. Ada yang mau gue omongin..."

            "Ohya, Ren. Lo utang satu cerita sama gue!" Meitha segera memotong pembicaraan Renita. Jangan sampe Renita mulai ngomongin masalah taruhan itu!

            "Hah? Apaan?" tanya Renita bingung

            "Itu loh..."

            "Apa?"

            "Ituuuuuu.."

            "Apaan?"

            "Itu..."

            "Itu apaan??" Renita mulai gemas dengan tingkah Meitha.

            Meitha tertawa kecil, "Itu lho.."

            "Bodo!" potong Renita kesal. Renita berjalan ke arah bangkunya dan duduk dengan wajah cemberut. Dengan wajah polosnya, Meitha ikut duduk di samping Renita dengan tenang.

            "Minggir! Gue lagi males deket - deket sama lo" Renita mulai ngambek nih!

            "Yehh, gitu aja ngambek. Gue kan tadi baru mau ngomong. Siapa suruh lo motong omongan gue?" Meitha mulai ngeles deh!

            "Ya terus apaan??"

            "Kemarin kok lo mau sih di ajak Erick ke perpustakaan?" tanya Meitha dengan nada jail sekaligus curiga. Wajah Renita kontan saja memerah. Meitha langsung cekikikan melihat reaksi Renita.

            "Ehhh.. Gue jadi inget soal taruhan kita"

            "Hah?" Meitha langsung bengong. Dia nggak nyangka arah pembicaraan mereka akan menyimpang drastis seperti ini.

            "Iya! Soal tuh cowok!" seru Renita bersemangat. Dia meraih tasnya dan mengobrak abrik tasnya dengan wajah gembira. Waduh, Meitha langsung gugup berat nih! Melihat wajah gembira Renita, sepertinya Meitha sudah bisa meramalkan apa yang akan terjadi nanti!

            "Nih!" Renita mengacungkan selembar kertas HVS yang penuh dengan tulisan Renita yang kecil dan rapi tepat di depan wajah Meitha. Meitha bengong sesaat menatap kertas itu.

            "Wait, apaan nih?? Informasi soal Ryan? Sebanyak ini? Lo bercanda!?" Meitha menyambar kertas itu dan rasanya dia ingin menghilang saat itu juga. Sekilas dibacanya, kertas itu memang berisi informasi soal Ryan. Banyak banget! Meitha rasanya nggak sanggup ngebaca tulisan itu! Meitha mendongak dan mendapati sahabatnya itu sedang tersenyum penuh kemenangan.

            "Gimana?"

            Ini kekalahan telak!

***

            "Argara Rahardryan Putra. Biasa di panggil Ryan. Tinggi 178 cm. Berat badan 66 kilogram. Golongan darah : O. Ulang tahun tanggal 10 Maret. Warna rambut hitam. Matanya yang juga berwarna hitam. Warna kulit : Standart. Nggak putih tapi juga nggak cokelat banget. Rambutnya agak panjang karena sudah melebihi batas kerah dan selalu terlihat berantakan. Seperti halnya cara berpakaiannya yang juga tak pernah rapi. Lalu.. Ryan termasuk atletis meski badannya nggak kekar - kekar amat dan nggak sixpacks.. Hah? Lo tau darimana? Ngintip ya lo?"

            "Gue cuma nulis apa yang diinformasikan oleh informan gue! Enak aja lo bilang gue ngintip," bela Renita merasa tersinggung karena Meitha seperti tidak percaya akan informasi yang dia cari dengan susah payah itu. Meitha mengangkat bahu kemudian melingkari bagian tulisan itu dan memberi tulisan kecil dibawahnya : nggak terbukti.


            "Selalu datang terlambat ke sekolah dan nggak pernah kapok meski sudah menjalani berbagai hukuman yang sederhana sampai yang aneh - aneh! Selalu sukses bikin guru - guru melotot melihat penampilannya yang selalu melanggar peraturan sekolah. Dari kancing yang tidak di kenakan, sabuk yang tidak di pakai, sepatu yang setiap hari selalu ganti warna, seragam yang kusut, memakai kaus yang warnanya juga selalu kontras dengan kemeja putihnya...."

            "Wow.. Niat banget nih anak melanggar peraturannya" komentar Meitha pelan. Renita hanya tertawa kemudian mengibaskan tangannya, menyuruh Meitha melanjutkan membaca isinya.

            "Nggak sampai di situ aja, dia juga hobi berantem. Selalu bikin kericuhan. Baik dikelas maupun satu sekolah SMA Harapan ini. Dia punya geng yang cukup besar. Sekitar 15 orang. Tapi inti dari geng itu cuma terdiri dari empat orang termasuk dirinya. Dia sebagai ketuanya diikuti Dani, Erick, dan Adit. Yang lain cuma sekedar ngikut aja. Bisa dibilang mereka itu perkumpulan anak badungnya kelas XI. Kecuali Dani yang sebenernya nggak bandel tapi dia itu temen deketnya Ryan. Hampir setiap hari selalu dipanggil Pak Seno, guru BP yang wajahnya super galak itu. Selalu sukses bikin ibu kepala sekolah kita, Bu Ratna yang manis dan lemah lembut itu berubah menjadi singa betina yang galak begitu berhadapan dengan murid satu itu"

            Meitha nyengir membayangkannya, "Tapi.. meski hobi bikin semua staf sekolah naik darah, Ryan itu murid kesayangan Bu Ratna. Alasannya karena dia itu sangaaaaaaaat pintar. Nggak heran dia masuk kelas IPA di kelas XI ini. Nggak tanggung - tanggung masuk kelas IPA 1 lagi. Konon, keenceran otaknya itu mengalir dari kedua orangtua dan kakaknya. Kedua orangtuanya bekerja sebagai dosen di sebuah universitas terkemuka di Indonesia. Kakaknya yang sering menyabet medali emas itu sedang kuliah di Amerika. Ryan sendiri memang nggak punya prestasi apa - apa (karena dia nggak mau ikutan olimpiade. Sekali ikut malah seenaknya sendiri), tapi Bu Ratna, guru - guru, serta teman - teman meyakini bahwa Ryan itu aslinya pasti lebih pintar dari kakaknya. Dia sering tidur dikelas, bengong, atau malah bikin keributan dikelas. Santai banget dah! Tapi begitu hasil ujian keluar, nilainya nggak pernah dibawah delapan..."

            "Masa?" Meitha mengangkat sebelah alisnya kemudian memberi tulisan "nggak terbukti" lagi di samping tulisan itu dan melingkari tulisan itu.

            "Dia punya satu kebiasaan aneh lagi yang membuatnya di sayang oleh para guru (kalau Ryan sedang tidak berulah), Ryan, si tukang bikin onar yang hobi berantem, selalu menolak keras yang namanya tawuran!! Dia selalu menolak bila diajak tawuran dan memilih cabut entah kemana."

            "Nggak pernah ikut tawuran?" Meitha melingkari bagian kertas itu dan menulis : Oh ya? Renita hanya mengedikkan bahunya.

            "Dia juga menolak jika diajak clubbing, minum, ngerokok, dan segala jenis kenakalan remaja lainnya dia nggak mau. Aneh banget!" Meitha melingkari bagian itu. Nggak percaya!!

            "Dan untuk masalah percintaannya.. dia masih jomblo. Belum punya pacar. Bisa dibilang nggak pernah terlihat dekat dengan cewek manapun. Ryan sendiri (katanya) memang belum pernah pacaran sama sekali. Mana sikapnya kalo sama cewek dingin banget lagi. Tapi akhir - akhir ini dia terlihat cukup dekat dengan cewek yaitu.. Hei, kenapa nama gue yang di sebut!??" Meitha berdecak kesal dan langsung memberi tanda silang besar di paragraf itu.

            "Gue dapat dari informan terpercaya kok," Renita tersenyum jail melihat wajah Meitha yang mulai terlihat memerah. "Seharusnya bagian yang itu nggak di coret, Met!"

            "Diem nggak lu!?" ancam Meitha kesal bercampur malu. Renita malah ketawa ngakak. Untung aja mereka tadi memutuskan untuk ke atap sekolah yang sepi itu. Bisa repot kan urusannya kalo ada yang denger ucapan dan tawa Renita yang menyebalkan itu.

            "Fakta - fakta Ryan yang hanya diketahui teman - temannya.... Selain hobi bermain basket, dia juga hobi bermain musik. Ryan bisa bermain piano dan permainannya bagus banget..  Suaranya juga bagus tapi dia nggak mau kalo disuruh menyanyi di depan umum. Hmm.. Dia suka warna hitam dan putih. Dia benci banget warna pink dan kuning. Dia penggemar berat seafood. Tapi dia nggak terlalu suka masakan restoran. Dia lebih suka makanan rumahan. Mamanya emang pinter masak sih. Dia nggak suka makanan manis. Dia benci kucing. Dan dia nggak suka pelajaran yang berbau seni karena gambarnya jeleeeeeeeek banget. Pelajaran yang disukai -selain olahraga- adalah bahasa. Selesai"

            Meitha menghela nafas panjang kemudian melingkari paragraf terakhir itu.

            "Loh, kenapa dilingkari?" protes Renita melihat banyaknya lingkaran yang diberikan Meitha pada informasi yang dia dapat. Meitha nyengir dan menambahkan tulisan besar - besar : PERLU DIBUKTIKAN!


            "Kata lo yang tau cuma temen deketnya..? Lo tau darimana coba?" tanya Meitha telak. Renita terlihat salah tingkah. Dia seperti ingin menjawab tapi ragu - ragu untuk menjawabnya. Meitha menunggu penjelasan Renita dengan sabar.

            "Gue... Itu gue dapat dari salah satu teman dekatnya Ryan"

            "Siapa?" tanya Meitha curiga. Sepertinya dia tahu siapa orangnya!

            "Erick"

            Tuh kan? Tebakan Meitha benar! Renita menundukan kepalanya malu - malu.

            "Oh, pantesan kok kemarin lo nggak nolak ajakan dia. Itu bayarannya ya?" sindir Meitha pedas. Renita meringis dan mengangguk. Hah!

            "Sebenernya waktu lo nunjukin Ryan ke gue waktu itu.. Gue ngeliat dia kayaknya akrab gitu dengan Erick. Terus gue pikir tentang taruhan itu. Yahh, makanya gue yakin gue pasti menang" jawab Renita enteng tanpa merasa bersalah. Kurang ajar! Renita licik banget! Meitha merengut kesal. Dari awal, Renita emang sudah mempersiapkan semuanya. Huh!

            "Lo curang"

            "Taruhan tetap taruhan. Dan lo udah setuju, Sayang. Nggak ada yang namanya membatalkan taruhan setelah taruhan itu terselesaikan" Renita mengedipkan matanya dan tertawa penuh kemenangan. Meitha melengos mendengarnya.

            "Lo sendiri.. Dapet informasi apaan?" ledek Renita dan memukul bahu Meitha pelan. Meitha langsung pasang wajah cemberut.

            "Serius nih. Masa lo nggak dapet sama sekali?"

            "Gue dapet.. Tapi nggak banyak.."

            "Apaan?"

            "Gue cuma tau.. Emm, nama lengkapnya dia.. dia kelas XI IPA 1. Pernah ikut olimpiade fisika tapi nggak menang.. trus.. emm.. nomer hapenya dia.."

            "HAH!? Nomer hape??" Mata Renita dipastikan langsung terbelalak maksimal. Meitha mengerjapkan matanya. Kaget dengan reaksi Renita yang berlebihan.

            "Iya, kenapa?"

            "Lo dapet darimana?"

            "Dari orangnya lah" jawab Meitha enteng. Renita bengong dan mengedipkan matanya berkali kali. Meitha sampe heran melihatnya. Kenapa nih anak?

            "Lo.. lo nanya ke Ryan langsung?" tanya Renita dengan wajah penuh kekaguman. Hebat juga sahabatnya ini. Berani nanya langsung ke sumbernya! Soalnya Erick yang notabene teman dekat Ryan aja nggak bisa ngasih nomernya Ryan ke Renita kok. Harus nanya ke orangnya langsung kalo mau tau nomernya!

            "Ya nggaklah.. Dia yang ngasih nomernya ke gue kok..."

            "HEH!???"

            "Lebay amat sih reaksi lo" gerutu Meitha sambil mengelus telinganya yang sakit mendengar teriakan Renita. "Ohya, mana peer lo? Mau gue salin dulu nih"

            Renita menyerahkan buku tulisnya tanpa sadar. Dia masih kaget mendengar penuturan sahabatnya itu. Meitha malah asik menyalin peer Renita tanpa menyadari sang pemilik buku sedang terpaku ditempatnya.

            "Met..."

            "Hmm?" Meitha masih asik menyalin peer Renita dengan keseriusan tingkat tinggi.

            "Lo ada hubungan apa sih sama dia?"

            "Sama siapa?"

            "Ryan"

            "HAH!? Nggak ada lah!" sembur Meitha langsung. Meitha menghentikan aksi menyalin peernya karena topik yang dibicarakan Renita ini udah mulai nggak bener. "Darimana lo dapet pikiran kayak gitu?"

            "Lah.. Gimana ceritanya dia bisa ngasih nomernya ke elo? Yang tau nomernya dia kan cuma temen deketnya doang. Erick aja nggak mau ngasih tau gue. Katanya nanti Ryan bisa ngamuk kalo nomernya disebar. Lah, ini? Dia sengaja ngasih nomernya ke elo, Met! Sesuatu banget tau nggak sih?"

            "Ah, biasa aja" Padahaaaaaaaaaal, jantung Meitha langsung ngadain konser begitu mendengar ucapan sahabatnya itu. Meitha menggaruk kepalanya yang tak gatal dengan perasaan campur aduk. Emang yah, kalo udah menyangkut cowok itu, rasanya dunia Meitha jadi jungkir balik deh!

            "Jangan - jangan dia naksir sama lo lagi!" Renita cekikikan dan mencubit lengan Meitha.

            "Ah, nggak mungkin," jawab Meitha pelan. Padahal dalam hati, Meitha udah teriak - teriak kayak orang gila.

            NGGAAAAAAAAK MUNGKIN TUH COWOK NAKSIR GUE!!! Nggak mungkin! Tapi.. tapi.. kenapa rasanya jadi mungkin ya?? ARGHHH!! Renita sialan! Ngapain coba dia ngomong kayak gitu. Ck!


            "Yahh, nggak penting juga sih," Renita mengalihkan pembicaraan membuat Meitha bisa menarik nafas lega. Dia hendak melanjutkan aktivitasnya yang tertunda tadi tetapi kalimat Renita selanjutnya membuat Meitha terpaksa menunda aktivitasnya sekali lagi.

            "Yang penting gue menang" seru Renita dengan wajah penuh kemenangan. Meitha memandang wajah Renita dengan kecut. Emang udah nggak ada harapan.

            "Ya iya elo yang menang. Curang sih," sindir Meitha pedas.

            "Hei, gue kan juga nggak mudah ngedapetin informasi itu! Gue harus mau jalan sama Erick selama sebulan penuh tauuuu!! Hah!" gerutuan Renita membuat senyum Meitha mengembang lagi. Rasain!

            "Oke deh, kalo gitu gue terima kekalahan gue!" Meitha mengacungkan jempolnya dan tersenyum lebar. Yah, Renita kan udah kena "hukuman"nya sendiri. Adil kalo gini! Dan nggak mungkin kan Meitha dapat hukuman yang lebih parah daripada apa yang akan dijalani Renita nanti?

            "Ohya, tuh kertas lo simpen aja ya. Buat lo. Kali aja nih informasi bisa bantuin lo dalam menjalani hukuman lo," Meitha mengangkat bahu dan menatap kertas yang berisi informasi soal Ryan itu. Ia melipat kertas itu dan dimasukkannya ke dalam saku roknya.

            "Apa hukuman gue?" tanya Meitha dengan tenang.

            Sayang, ucapan Renita berikutnya malah menghancurkan semangat Meitha hingga berkeping - keping.

            "Hukuman buat lo : Tembak Argara Rahardryan Putra!"

            Oke, sekarang Meitha nggak akan bisa ngelanjutin aktivitas menyalin peernya lagi. Ini kekalahan paling telak dan paling mengerikan yang pernah Meitha jalani!

***

            Meitha memainkan pensilnya dan melamun menatap ke luar jendela. Tak ia hiraukan ocehan Bu Sarma, guru Fisika yang killernya setengah mati itu. Meitha mendesah keras dan tanpa sadar mencorat - coret buku catatannya.

            Gue mesti gimana? keluh Meitha dalam hati.

            "Hukuman buat lo : Tembak Argara Rahardryan Putra!"


            Kenapa sih tuh anak kalo bikin taruhan selalu ekstrem begitu? Dan hukuman kali ini juga benar - benar sangat ekstrem. Dan kenapa Meitha mau - mau aja ngikutin permainan Renita yang mematikan ini? Padahal dia emang udah ngerasain firasat buruk saat pertama kali Renita mengajukan taruhan itu.

            Meitha masih asik menatap keluar jendela. Tatapannya kemudian jatuh ke lapangan basket dimana banyak siswa siswi sedang mengikuti pelajaran olahraga. Rasanya Meitha pengin ikutan pelajaran olahraga aja deh. Lumayanlah, bisa menarik nafas segar dan menjernihkan kepalanya yang sangat keruh ini. Daripada dikelas. Udah sumpek, pelajaran fisika lagi! Huh!

            Meitha menatap segerombol siswa yang sedang asik bermain basket. Hmm.. Eh, tunggu! Meitha menyipitkan matanya dan memperhatikan segerombolan itu dengan lebih seksama. Itu kan.. Dani dan teman - temannya? Mata Meitha segera mengamati dan mencari - cari sesosok Ryan tanpa cewek ini sadari. Nggak ada dimana - mana.

            Loh, ngapain gue mikirin cowok pembawa bencana itu!?

            Pandangan Meitha teralih ke sebuah pohon rindang di dekat lapangan basket itu. Seseorang sedang berdiri menyandar pada pohon itu dengan tenang. Sepertinya cowok itu sedang mengamati Meitha sedari tadi. Samar, Meitha bisa melihat dia sedang tersenyum tipis. Meitha tersentak saat menyadari siapa cowok itu.

            Ryan...


            Meitha buru - buru mengalihkan pandangannya dari jendela ke depan kelas. Dan Meitha membeku di tempatnya.

            "Pemandangannya bagus, Meitha Aulia Putri?" suara dingin Bu Sarma membuat Meitha menelan ludah. Takut.

            "Kamu menyepelekan pelajaran saya, ya?"

            "Ehh, iy.. eh, nggak, Bu" jawab Meitha buru - buru.

            Bu Sarma menatap ke arah jendela beberapa saat kemudian tersenyum. Bukan senyum yang menyenangkan. Oh, tidak...

            "Mau olahraga?"

            "Nggak, Bu" jawab Meitha pelan. Aduh, kayaknya bakal repot nih!

            "Sekarang juga kamu keluar dari kelas dan.. pungut semua sampah yang ada dilapangan!!"

            HAH!? LO PIKIR GUE PEMULUNG!???


            "Eh, tapi, Bu..."

            "SEKARANG!!"

***

            "Nih sekolah nggak modal ato gimana ya!? Masa murid disuruh mungutin sampah? Mending kalo digaji kayak petugas kebersihan tuh. Err!" Meitha terus - terusan menggerutu disepanjang koridor menuju ke lapangan basket. Meitha terus berjalan sambil menundukkan kepalanya. Mulutnya tak pernah berhenti mengomel karena kesal. Saking seriusnya mengomel, dipersimpangan koridor tanpa sengaja ia malah menabrak seseorang.

            "Eh, maaf" ucap Meitha spontan. Meitha mendongak dan menatap sang korban tabrakannya itu. Mata Meitha langsung terbelalak maksimal begitu melihat siapa yang dia tabrak. Aduh! Ini persimpangan ada apanya sih!? Perasaan Meitha dulu nabrak Ryan juga disini deh! Dan kenapa korban tabrakan Meitha itu Ryan lagi?

            "Ini yang ketiga," Ryan tersenyum miring padanya. Sepertinya dia menganggap ini lucu sekali. Meitha hanya tersenyum kecut. Menyebalkan!

            "Elo lagi," keluh Meitha tanpa sadar. Ups!

            "Iya, ini gue" jawab Ryan masih dengan senyum diwajahnya. Meitha melebarkan matanya. Kaget. Kirain tuh cowok bakal ngamuk atau gimana... Eh, tumben tuh cowok pandangannya nggak keliatan setajam silet! Malah senyam senyum dari tadi.. Cakep juga.. Ehhh!!

            "Lo dihukum Bu Sarma ya?" Senyuman Ryan makin lebar. Oh, pantes nih anak cengar cengir dari tadi! Nih anak pasti seneng banget deh begitu tau Meitha dihukum. Kurang ajar!

            "Kok lo tau?"

            "Keliatan kok dari lapangan"

            ASTAGA! Mau ditaruh dimana wajah Meitha!? Wajah Meitha memerah karena malu sekaligus kesal.

            "Ini semua gara - gara lo!" seru Meitha kesal.

            "Emang gue ngapain?"

            Meitha salah tingkah. Aduh, dia nggak mungkin bilang gini kan : "habisnya gue tadi nyari keberadaan lo dilapangan tadi! Dan begitu ketemu, lo malah ngeliatin gue kayak gitu!" Argh!! Nggak mungkin Meitha bilang begitu!

            "Pokoknya gara - gara lo!"

            "Emang lo dapet hukuman apa?"

            "Mungutin sampah" ujar Meitha lesu.

            "Oh, ya udah. Ayo!" Ryan menarik tangan Meitha dan menggandengnya. Ryan tersenyum lagi. "Gue yang bakal ngawasin lo supaya lo nggak kabur!"

            Apaan sih lo gandeng - gandeng tangan gue segala!?? Err.. Tenang, Met.. Tenang.. Lo jangan terpengaruh kata - kata Renita tadi. Ryan berlaku kayak gini bukan karena dia suka sama lo, Met! Err.. Ryan emang hobi bikin orang salah paham! Arghhh.. Ini semua gara - gara omongan Renita yang ngaco tadi!!


            Tiba - tiba Meitha jadi teringat hukuman dari Renita tadi..

            "Hukuman buat lo : Tembak Argara Rahardryan Putra!"


            "Arghhhh!" Meitha menarik tangannya dari genggaman Ryan membuat cowok itu keheranan.

            "Kenapa lo?"

            "Nggak!!" Dan Meitha berlari meninggalkan cowok itu dengan secepat kilat. Tak ia pedulikan teriakan Ryan yang memanggilnya berulang kali. Sumpah, kayaknya dia nggak bisa bersikap biasa dengan cowok ini mulai sekarang. Karena hukuman sialan itu!!

            "Masa gue harus nembak dia? DIA!? Ugh!!"

***

            Ryan menatap kepergian Meitha dengan bingung. Ryan terdiam sesaat kemudian hanya bisa menggelengkan kepalanya dengan tingkah cewek itu yang sangat aneh. Ryan tertegun ketika melihat selembar kertas yang terlipat rapi jatuh dilantai tak jauh darinya. Sepertinya punya Meitha? Mungkin jatuh dari saku rok cewek itu, pikir Ryan dan memungut kertas itu.

            Ryan menelengkan kepalanya menatap kertas itu. Dia penasaran dengan isinya. Ryan membuka lipatan kertas itu. Hmm, sebuah kertas HVS dengan tulisan kecil yang sangat rapi memenuhi kertas itu...

            "Niat banget nulisnya... Eh, tunggu! Apa - apaan ini!?" Ryan terlihat kaget ketika membaca isi kertas itu. Dia menatap kepergian Meitha dengan kening berkerut.

            Apa mungkin......?




Nb : Monica Handayani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar